goblogt

Minggu, 29 Januari 2012

makalah islam

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur selamanya kita panjatkan kehadirat Allah SWT,karena berkat taofik dan hidayah-Nya kita masih dapat beraktivitas seperti biasa.
            Alhamdulilah kami sapat menyelesaikan makalah ini yang bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pendidikan agama islam.
            Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada sema pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan tepat waktunya.
            Kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna,untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan penyusun makalah ini.
            Akhirnya semoga makalah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuna untuk kita semua.Amin


                                                                                                                        Rancah,Oktober 2011














DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ 1
DAFTAR ISI........................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 3
1.1. Latar belakang.................................................................................................... 3
1.2. Rumusan masalah............................................................................................... 3 

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 4
            2.1. Tuhan yang maha esa dan ketuhanan................................................................. 4         
            2.2.  Keimanan dan implikasi tauhid dalam islam..................................................... 10
            2.3. Ketaqwaan dan implikasi dalam kehidupan....................................................... 12
BAB III PENUTUP............................................................................................................. 18
            3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 18
            3.2 Saran.................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 20



           





BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang

           Agama Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad sholalallohu 'alaihi wasallam. Dengan Islam, Allah mengakhiri serta menyempurnakan agama-agama lain untuk para hambanya. Dengan Islam pula, Allah menyempurnakan kenikmatan-Nya, dan meridhoi Islam sebagai agamanya. Oleh karena itu tidak ada lain yang patut diterima selain Islalm.
            Islam adalah agama yang sempurna, yang dengannya Allah SWT, muliakan manusia. Dan dengan islam pula terwujudnya kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Allah Azza wa jalla telah menciptakan alam ini, dan menjadikan setiap makhluk yang ada di dalamnya tunduk kepada sunnatullah (hukum Allah) atau tabiat yang berlaku atasnya. Allah mewujudkan kehendak-Nya, oleh karena itu segala sesuatu yang telah ditetapkan atasnya hukum Allah tersebut, tidak bisa di ubah kecuali hanya dengan perintah.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, kami dapat merumuskan masalah dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Keimanan dan Implikasi Tauhid di Islam?
2. Bagaimana Ketaqwaan dan Implikasi dalam kehidupan?















BAB II
PEMBAHASAN

      2.1. Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan

           Konsep tentang Tuhan dalam Islam bersumber dari dan berdasarkan wahyu. Yang kami maksud dengan wahyu di sini sama sekali bukanlah imajinasi seperti khayalan seorang penyair besar ataupun klaim para seniman terhadap diri mereka sendiri. Wahyu di sini juga bukan inspirasi apostolik seperti yang diklaim oleh para penulis kitab suci semacam Bibel; ia juga bukan intuisi iluminatif seorang ilmuwan atau pakar yang berpandangan tajam.
           Wahyu yang kami maksud di sini adalah firman Tuhan tentang diriNya sendiri, ciptaanNya, relasi antarakeduanya, serta jalan menuju keselamatan yang disampaikan pada Nabi dan Rasul pilihanNya, bukan melalui suara atau aksara, namun semuanya itu, telah Dia representasikan dalam bentuk kata-kata, kemudian disampaikan oleh Nabi pada umat manusia dalam sebuah bentuk bahasa dengan sifat yang baru, namun bisa dipahami, tanpa ada campur-aduk atau kerancuan (confusion) dengan subyektifitas dan imajinasi kognitif pribadi Nabi. Wahyu ini bersifat final, dan ia (yakni al-Qur’an) tidak hanya menegaskan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya dalam kondisinya yang asli, tapi juga mencakup substansi kitab-kitab sebelumnya, dan memisahkan antara kebenaran dan hasil budaya serta produk etnis tertentu.
      Karena  kita mengakui bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan yang diwahyukan dalam bentuk barubahasa Arab, maka gambaran tentang sifat-sifat Tuhan di dalamnya merupakan deskripsi tentang diriNya oleh diriNya sendiri dan dengan kata-kataNya sendiri, menurut bentuk bahasa tersebut (Arab). Konsekuensinya berarti bahwa bahasa Arab al-Quran, interpretasinya dalam hadith, dan penggunaannya secara otentik dan otoritatif di sepanjang masa meneguhkan validitas bahasa tersebut ke derajat yang paling tinggi, sebagai bahasa yang digunakan untuk mendeskripsikan realitas dan kebenaran. Dalam pengertian ini dan berbeda dari kondisi pemikiran modernis dan post-modernis yang ada, kami berpendapat bahwa bukanlah concern Islam untuk terlibat jauh dalam permasalahan semantik bahasa secara umum, dimana para filosof bahasa menghadapi masalah dalam menyesuaikan or menghubungkan bahasa dengan dengan realitas yang sebenarnya secara tepat. Konsepsi mengenai sifat Tuhan yang berasal dari wahyu juga dibangun di atas fondasi akal dan intuisi, dan untuk beberapa kasus dibangun berdasarkan intuisi empirik, sebagai hasil pengalaman dan kesadaran manusia akan Tuhan dan ciptaanNya.
           Sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam, tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lain di dunia. Ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenistik. Ia tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam filsafat Barat atau tradisi sains; juga tidak sama dengan yang dipahami dalam tradisi mistisisme Timur maupun Barat. Kalaupun ada kemiripan yang mungkin ditemukan antara sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam dengan berbagai macam konsepsi agama lain, maka itupun tidak bisa ditafsirkan sebagai bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama, yakni Tuhan Universal Yang Esa (The One Universal God), karena masing-masing konsep tersebut digunakan sesuai dengan dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda, sehingga konsepsi tersebut yang merupakan suatu keseluruhan, atau super system, tidak sama antara satu dengan yang lain. Ini juga berarti bahwa tidak ada Kesatuan Transenden Agama-agama (transcendent unity of religions), jika yang dimaksud dengan kesatuan itu adalah keesaan (tauhid) dan kesamaan Demikian pula, jika yang dimaksud dengan kesatuan itu bukan keesaan dan kesamaan berarti terdapat keanekaragaman (plurality) dan ketidaksamaan (dissimilarity) agama-agama, bahkan pada level transenden sekalipun.
           Namun jika diakui bahwa ada pluralitas atau ketidaksamaan pada level itu, dan yang dimaksud dengan kesatuan adalah kesalingterkaitan dari bagian-bagian yang membentuk keseluruhan maka, kesatuan adalah kesaling-berhubungan (interconnection) antara agama-agama ataupun berarti ketidaksamaan agama-agama, sebagai bagian-bagian yang membentuk suatu keseluruhan. Berangkat dari sini, dan jika demikian halnya, maka pada level kehidupan biasa, dimana manusia tunduk pada keterbatasan-keterbatasan kemanusiaan dan dunia materi, tentu tidak ada agama yang sempurna, setiap agama tidak ada yang sempurna, karena setiap agama dinilai tidak mampu mencapai tujuannya sendiri, dan hanya mampu mencapai tujuannya— yaitu penyerahan diri yang benar pada Tuhan Universal yang Esa, tanpa mensekutukanNya dengan partner, rival, atau yang serupa dengan itu— hanya pada level transenden. Pandangan semacam ini jelas keliru, sebab tujuan agama untuk direalisasikan sepenuhnya justeru dalam tataran kehidupan sehari-hari, dimana manusia tunduk pada keterbatasan-keterbatasan kemanusiaan dan dunia materi, bukan dalam tataran abstrak dimana manusia tidak tunduk pada keterbatasan-keterbatasan tersebut, sebagaimana terkandung dalam makna terma transcendent Adapun jika arti transcendent dikaitkan dengan suatu kondisi ontologis, di luar sepuluh kategori yang lazim, maka Tuhan yang dimaksud jelas bukan Tuhan agama (Allah) sehingga mustahil terdapat kesatuan agama pada level tersebut. Pada level itu, Tuhan dikenal sebagai Rabb, bukan sebagai Ilah; mengenal Tuhan sebagai Rabb tidak mesti berarti mengakui keesaan atau kesamaan dalam pengakuan yang layak terhadap kebenaran yang dimaksud, karena Iblis juga mengakui Tuhan sebagai Rabb, namun tidak mengakuiNya dengan sebenarnya. Memang, seluruh keturunan Adam telah mengenalNya sebagi Rabb pada level tersebut. Namun, pengenalan manusia pada Tuhan seperti ini tidak benar, kecuali diikuti dengan pengakuan yang benar pada level, dimana Dia dikenal sebagai Allah. Dan pengakuan yang benar dimana Ia dikenal sebagai Allah mengandung makna tidak mensekutukannya dengan segala partner, rival, atau yang serupa dengan itu, dan berserah diri kepadaNya dengan cara dan keadaan yang diridhaiNya, dan diajarkan oleh Nabi yang diutusNya. Jika yang dimaksud dengan transenden berkenaan dengan suatu kondisi psikologis pada level pengalaman dan kesadaran, yang melampaui pengalaman dan kesadaran umum di antara umat manusia, maka kesatuan yang dialami dan dirasakan pada level transenden bukanlah agama, tapi merupakan pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya bisa dicapai oleh sedikit individu di antara umat manusia. Namun, agama maksudnya adalah mencapai tujuannya untuk seluruh umat manusia; dan umat manusia secara keseluruhan tidak pernah mampu mencapai level transenden, dimana pada level itu terdapat suatu kesatuan agama-agama.
           Kemudian, jika kesatuan pada level tersebut yang merupakan penghubung dari pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama, sebagai bagian-bagian yang membentuk keseluruhan telah ditolak – karena setiap agama pada level kehidupan biasa bukanlah bagian dari suatu keseluruhan tapi merupakan suatu keseluruhan itu sendiri – maka kesatuan yang berarti keesaan atau kesamaan disitu bukanlah agama itu sendiri, tapi keesaan Tuhan agama-agama pada level transenden (yakni, esoteris). Ini berarti bahwa meskipun terdapat pluralitas dan keragaman agama-agama pada level kehidupan biasa (eksoteris), setiap agama mampu dan absah dengan caranya sendiri-sendiri yang terbatas, masing-masing otentik dan membawa kebenaran yang sama meskipun terbatas. Nampaknya, gagasan pluralitas kebenaran yang berasal dari kesamaan validitas dalam pluralitas dan keragaman agama-agama selaras dengan pernyataan dan konklusi umum filsafat dan sains modern, yang muncul dari penemuan adanya pluralitas dan diversitas hukum-hukum yang mengatur alam, yang memiliki validitas yang sama dalam sistem kosmologisnya sendiri. Kecenderungan untuk mengkaitkan penemuan ilmiah modern tentang sistem alam semesta ini dengan pernyataan yang dikaitkan dengan masyarakat manusia, tradisi budaya dan nilai-nilai adalah merupakan salah satu karakteristik dan gambaran umum modernitas.
           Pendapat mereka yang mendukung teori kesatuan transenden agama-agama didasarkan pada asumsi bahwa, semua agama, yakni semua agama-agama besar yang dianut oleh umat manusia, adalah agama wahyu. Mereka berasumsi bahwa, universalitas dan esoterisme transenden membenarkan teori mereka, suatu teori yang mereka “temukan“ setelah mereka berkenalan dengan metafisika Islam. Mereka selanjutnya berasumsi bahwa pemahaman mereka terhadap metafisika kesatuan transenden eksistensi (Transcendent Unity of Existence) telah mengandung implikasi kesatuan transenden agama-agama. Ada kesalahan fatal dalam seluruh asumsi-asumsi mereka ini. Bahkan istilah kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions) itu sendiri cukup menyesatkan, sebuah istilah yang boleh jadi lebih merupakan suatu motif untuk agenda terselubung, ketimbang keyakinan yang mereka percayai kebenarannya. Klaim kepercayaan yang ada pada mereka mengenai kesatuan transenden agama-agama sebenarnya merupakan hasil rekaan imajinasi induktif mereka, dan semata-mata bersumber dari spekulasi intelektual, bukan dari pengalaman konkrit. Jika asumsi ini ditolak, dan mengingat klaim mereka berasal dari pengalaman orang lain (bukan pengalaman sendiri), maka bisa kita katakan bahwa, perasaan kesatuan yang dialami bukanlah agama, tapi merupakan derajat yang berbeda-beda dari pengalaman religius individu yang tidak bisa digiring pada asumsi, bahwa agama-agama secara individu, yang mengalami kesatuan seperti ini, mengandung kebenaran dengan validitas yang sama dengan agama-agama wahyu pada tataran kehidupan biasa.
           Selanjutnya, sebagaimana telah dinyatakan di atas, Tuhan yang dirasakan dari pengalaman tersebut dikenal sebagai Rabb, bukan Allah yang terdapat dalam agama wahyu. Dan mengenalNya sebagai Rabb belum bisa diartikan mengakuiNya dengan penyerahan diri yang benar karena pengenalan itu. Ini karena pengingkaran, arogansi dan kebohongan berasal dari wilayah transenden itu sendiri. Hanya ada satu agama wahyu. Itu adalah agama yang disampaikan oleh seluruh Nabi-Nabi terdahulu, yang diutus untuk mengajarkan pesan-pesan wahyu kepada umat mereka masing-masing, sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan rencana Tuhan untuk mempersiapkan umat manusia menerima agama dalam bentuknya yang paling tinggi dan sempurna, sebagai agama universal di tangan Nabi terakhir (Muhammad saw), yang diutus untuk menyampaikan pesan-pesan wahyu, tidak hanya pada umatnya, tapi juga kepada seluruh umat manusia. Semua pesan wahyu pada intinya selalu sama: untuk mengenal, mengakui dan menyembah Kebenaran Tunggal dan Tuhan Hakiki yang Esa (Allah), tanpa mensekutukanNya dengan segala partner, rival, atau yang serupa dengan itu, tidak juga mensifatkan sesuatu serupa dengan Dia; dan untuk menegaskan kebenaran yang diajarkan oleh Nabi-Nabi terdahulu, dan juga untuk menegaskan kebenaran final yang dibawa oleh Nabi terakhir, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh seluruh Nabi-Nabi yang diutus sebelum beliau (yakni sang Nabi terakhir). Dengan pengecualian umat Nabi terakhir ini, yang melalui mereka agama wahyu sepenuhnya mencapai kesempurnaan, dan yang keasliannya masih terjaga hingga saat ini. Mayoritas umat manusia secara sadar telah meninggalkan petunjuk yang disampaikan oleh Nabi terakhir. Mereka lebih menyukai dan memilih mengikuti ajaran-ajaran buatan manusia yang merupakan hasil kreasi budaya dan temuan etnis mereka sendiri, lalu mengklaim bahwa itu semua sebagai agama-agama imitasi dari agama wahyu.
           Sesungguhnya hanya ada satu agama wahyu yang asli, yang bernama islam. Manusia yang mengikuti agama ini dipuji oleh Tuhan sebagai sebaik-baik umat manusia. Mengenai beberapa umat manusia yang memilih untuk mengikuti bentuk kepercayaan dan praktek mereka sendiri yang bermacam-macam, yang dianggap sebagai agama, pencapaian mereka pada Kebenaran merupakan penemuan mereka kembali, dengan bantuan petunjuk dan kesungguhan hati. Mengenai hal ini secara jelas telah ditunjukkan dalam Islam, bahkan pada tataran kehidupan biasa. Hanya Islam yang mengakui dan menegaskan keesaan Tuhan secara absolut tanpa harus mencapai level transenden; tanpa mengacaukan pengakuan dan penegasan ini dengan bentuk kepercayaan dan praktek tradisional yang dianggap sebagai agama; tanpa membaurkan pengakuan dan penegasan ini dengan kreasi budaya dan invensi etnis yang ditafsirkan sebagai imitasi agama wahyu. Karena itu, Islam tidak menerima apapun kesalahan dalam memahami Wahyu, dan dalam pengertian ini, Islam bukan sekedar rangka atau bentuk (form) semata-mata, tapi esensinya itulah sendiri adalah agama.
           Dalam kasus Islam kita tidak mengenal sebuah garis horisontal yang memisahkan sisi eksoteris dari esoteris dalam memahami Kebenaran dalam agama. Kita lebih menjaga suatu garis kontinuitas vertikal dari eksoteris ke esoteris; suatu garis kontinuitas vertikal yang kita kenal sebagai jalan yang lurus: islam,iman dan ihsan, tanpa adanya inkonsistensi pada tiga tahapan kenaikan spiritual, dengan cara itulah Realitas atau kebenaran transenden yang dikenal dan diakui dalam kasus kita, bisa dicapai oleh banyak orang.
Tidak ada gunanya menyamarkan atau menutup-nutupi kesalahan dan kekeliruan suatu agama dalam memahami dan menginterpretasikan kitab suci yang mereka yakini bersumberkan wahyu. Yaitu dengan mengikuti karakteristik dan ciri-ciri khusus pelbagai bentuk etnis dan simbolisme, dan kemudian menafsirkan simbol-simbol itu dengan metode hermeneutika yang memperdayakan, sehingga kesalahan tersebut tampak sebagai kebenaran.        Agama tidak hanya terdiri dari pernyataan mengenai keesaan Tuhan (tauhid), tapi juga menyangkut cara dan bentuk verifikasi pernyataan itu sebagaimana ditunjukkan oleh  NabiNya yang terakhir, yang mengkonfirmasi, menyempurnakan dan mengkonsolidasikan cara dan bentuk afirmasi serta verifikasi Nabi-Nabi sebelumnya. Cara dan bentuk verifikasi tawhid yang dimaksud adalah cara dan bentuk penyerahan diri pada Tuhan. Pengujian afirmasi kebenaran keesaan Tuhan adalah bentuk dari penyerahan diri pada Tuhan tersebut. Ini karena bentuk penyerahan diri yang diperankan oleh agama yang mengafirmasi keesaan        Tuhan, benar menurut verifikasi afirmasi ini, dan agama yang khusus itu adalah Islam.  Karena itu, Islam bukan hanya kata benda verbal yang menunjuk pada penyerahan diri; Islam adalah nama sebuah agama yang khusus yang mendeskripsikan penyerahan diri yang benar, yang juga merupakan definisi agama itu: yakni penyerahan diri pada Tuhan. Cara dan bentuk penyerahan diri yang dilakukan dalam suatu agama secara definitif dipengaruhi oleh        konsepsi mengenai Tuhan dalam agama itu. Karena itu, konsepsi mengenai Tuhan dalam agama amat krusial, khususnya dalam mengartikulasikan secara benar bentuk penyerahan diri yang sesungguhnya; dan konsepsi ini harus mampu untuk mendeskripsikan sifat Tuhan yang benar, yang hanya bisa diperoleh dari wahyu, bukan dari tradisi budaya atau etnis tertentu, tidak juga dari percampuran antara etnis dan tradisi budaya dengan kitab suci, tidak juga dari spekulasi filosofis yang berdasarkan penemuan sains.
           Konsepsi mengenai sifat Tuhan dalam Islam adalah merupakan perwujudan dari apa yang telah diwahyukan kepada para Nabi sesuai dengan al-Qur’an. Dia adalah Tuhan yang Esa; Maha Hidup, Berdiri Sendiri, Kekal dan Abadi. Maha Hidup adalah zatNya yang paling hakiki. Dia Maha Esa; ZatNya tidak mungkin terbagi-bagi, baik dalam imaginasi, realitas maupun pengandaian. Dia bukanlah tempat untuk disifatkan, dan Dia bukan juga sesuatu yang bisa dibagi-bagi menjadi bagian-bagian, dan Dia bukan juga sesuatu yang merupakan gabungan dari elemen-elemen pokok. KeesaanNya bersifat absolut (mutlak) dengan kemutlakan yang tidak sama dengan kemutlakan dalam dunia natural. Walaupun Ia absolut, Ia sendiri dalam kemutlakan diri-Nya (individuation) tidak mengurangi kemurnian kemutlakanNya dan kesucian keesaanNya. Dia bersifat transenden, dengan transendensi yang tetap memungkinkanNya untuk hadir di setiap tempat (omnipresent) dalam waktu yang sama, karena itu, Ia juga hadir secara immanen, tetapi bukan dalam pengertian yang dipahami dalam paradigma pantheisme.
           Dia memiliki sifat-sifat yang murni dan abadi yang merupakan sifat-sifat dan kesempurnaan-kesempurnaan yang berasal dari diriNya sendiri. Sifat dan kesempurnaan ini tak lain dari zatNya, dan tetapi sifat dan kesempurnaan ini berbeda dari zatNya, dan berbeda antara sifat yang satu dengan yang lain, dengan tidak menjadikan realitas sifat-sifat itu dan keberbedaannya sebagai entitas terpisah yang hidup berpisah dari zatNya, yang merupakan sebuah pluralitas yang abadi; sifat-sifat itu bergabung dengan zatNya sebagai sebuah kesatuan yang tidak terimajinasi. Jadi, kesatuannya merupakan kesatuan zat, sifat dan aksi. Karena Ia hidup dan berkuasa, mengetahui, berkehendak, mendengar, melihat dan berbicara melalui sifatNya yang maha Hidup dan Berkuasa, maha Mengetahui, Berkehendak, Mendengar, Melihat dan berbicara; dan semua yang bertentangan dengan ini merupakan sesuatu yang mustahil bagiNya.
Dia tidak sama dengan Sang Penggerak Pertama (First Mover) dalam filsafat Aristoteles, karena Dia selalu bertindak dan berbuat sebagai pelaku yang bebas, yang senantiasa aktif dan kreatif, abadi dan terus-menerus. Namun samasekali tidak berarti bahwa perubahan, transformasi dan proses menjadi terjadi pada diriNya. Tidak seperti tuhannya Plato atau Aristoteles, Dia terlalu agung untuk menerima dualisme bentuk dan zat pada aktifitas kreatifNya. Penciptaan dan ciptaanNya juga tidak bisa dideskripsikan dalam terma metafisika emanasi menurut Plotinus. Penciptaan olehNya merupakan perwujudan realitas ideal yang sudah ada sebelumnya dalam pengetahuanNya, ke dalam eksistensi eksternal dengan kekuatan dan kehendakNya; realitas-realitas ini merupakan entitas-entitas, Dia menjadikannya nyata dalam kondisi batin keberadaanNya. PenciptaanNya merupakan sebuah aksi tunggal yang berulang dalam proses yang abadi, sementara isi proses itu yang merupakan ciptaanNya tidak bersifat kekal, walaupun ciptaan itu merupakan sesuatu yang baru namun tetap dalam kesamaan dalam jangka eksistensi yang berbeda sesuai dengan kehendakNya.

 2.2. Keimanan dan Implikasi Tauhid dalam Islam

           Iman menurut arti bahasa yaitu percaya atau mempercayai sesuatu. Sedangkan dalam arti lazim , iman artinya meyakini dengan hati , mengucapkan dengan lisan , dan mengamalkan dengan perbuatan. Iman adalah awal dan akhir dari semua unsur ajaran islam yaitu keyakinan yang menegaskan bahwa hanya Allah SWT yang menciptkan, memberi hukum-hukum , mengatur dan mendidik alam semesta. Dan sesungguhnya hanya Allah SWT lah satu-satunya yang wajib dan di sembah, di mohon petunjuk dan pertolongan-Nya, serta di taati (tauhid uluhiyah). Iman yang pertama ditujukan Kepada Allah SWT kemudian diikuti dengan iman kepada malaikat-malikat Allah , kitab-kitab ,Rasull-rasull-Nya, Hari akhir dan kepada qada dan qodar. Semua itulah yang dimaksud dengan rukun iman yang berjumlah lima unsur keimanan yang harus diyakini. Dalam suatu hadist Rasullallah SAW pernah bersabda bahwa iman itu cabangnya lebih dari enam puluh, dan perasaan malu adalah salah satu cabang dari iman (Diriwayatkan Oleh Imam Bukhari). Dalam lima cabang iman yang telah disebutkan tadi, ada satu cabang iman yang paling tinggi yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan yang patut di sembah selain Allah SWT, dan yang paling rendah yaitu menyingkirkan apa saja yang dapat mendatangkan celaka ( Diriwayatkan Oleh Iman Muslim). Jadi iman itu meliputi seluruh perbuatan yang mengandung kebaikan dan manfaat terhadap manusia dan makhluk lainya yang dapat kita sebut dengan “amal shalih”.
           Oleh karena itu Islam sangat berkaitan dengan perbuatan ,yaitu perbuatan yang baik yang tentunya , yang didasarkan karena Allah semata. Perbuatan yang serupa inilah yang disebut Ibadah , suatu ibadah yang telah di tegaskan dalam rukun islam yaitu , mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan shalat, berpuasa di bulan Ramadhan , mengeluarkan Zakat , dan menunaikan ibadah haji bagi yang telah mampu. Semua itulah hal-hal yang bersifat perbuatan nyata/amaliah , dan jika dikerjakan secara baik dan sempurna berarti ia telah melaksanakan Ibadah kepada Allah SWT.

 Nilai-Nilai Dan Buah Keimanan

           Beriman kepada Allah SWT adalah suatu iman yang paling mulia dibandingkan dengan cabang iman lainnya, dan sesungguhnya hubungan yang paling mulia dari suatu hubungan iman manusia terhadap Allah SWT, karena Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Menciptakannya . sebabnya adalah karena manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia diantara makhluk Ciptaan Allah lainnya yang menetap di atas permukaan bumi , sedangkan semulia-mulianya yang ada dalam tubuh manusia yaitu hatinya dan semulia-mulianya sifat yang ada dalam hatinya yaitu keimanan. Dapat kita simpulkan bahwa sifat mulia yang ada dalam hati manusia merupakan aspek keimanan secara garis kecil , karena iman yang sempuryaitu bukan hanya meyakini dengan hatinya sajah melainkan disertai dengan perbuatannya yang berasaskan islam dan iman yang menyeluruh dan menjadi budaya dalam hidupnya. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
“ Tidak sempurnalah keimanan seseorang, sehingga ia dapat mengikutkan keinginan hatinya itu sesuai dengan agama yang saya bawa ini (yakni kemauannya sesuai dengan hukum-hukum agama”
           Keimanan itu dapat membentuk buah kecintaan , maka ia harus pula dapat menimbulkan buah lain berupa perjuangan (jihad) dan berkorban untuk meninggikan kalimattullah, yaitu bahwa agama Allah harus di atas segala-galanya. Serta mengadakan pembelaan untuk mengibarkan setinggi-tingginya bendera kebenaran, dan berusaha segigih-giginhnya untuk menolak adanya penganiayaan , kezaliman , dan kerusakan yang dibuat manusia yang sewenang-wenang di atas permukaan bumi ini. Perjuangan atau usaha keras membela agama yang disebutkan diatas, sudah Nampak nyata dikalangan kaum mukminin yang telah dipilih Oleh Allah SWT. Yaitu mereka yang hidup pada masa pemulaan perkembangan Islam yang Jaya , sehingga patutlah mereka itu mendapatkan pujian dari Allah SWT , sebagaimana firmannya :
“Di antara orang-orang yang beriman ada beberapa orang yang menepati janjinya kepada Tuhan, diantaranya ada yang mati syahid dan diantaranya ada pula menantikan kematian syahid itu, dan mereka tidak ada yang berubah barang sedikitpun “ (Q.S. 33:23)
Pengaruh iman kepada Allah SWT terhadap kehidupan manusia yaitu namapak sekali dalam rasa cintanya terhadap Sang Pencipta lalu ia segan Kepada-Nya. Karena bagi mereka yang sudah mengetahui dan menginsyafi benar-benar kedudukan Allah , menyadari pula akan ke-Maha Agunan-Nya , merasakan kebesaran,kekuasaan,dan Ke-Muliaan-Nya, kemudian mengerti pula keadaan dan kelemahan dirinya sendiri yang sangat lalai,gegabah,dan kurang menaruh perhatian pada Hak-Hak Allah SWT, maka tentulah orang demikian ini akan     menjadi cinta dan segan kepada Tuhannya. Dari uraian di atas dapat kita peroleh bahwa keimanan adalah meliputi ucapan,keyakinan dan perbuatan yang nampak dalam kehidupannya sehari-hari. Dan keimanan yang sempurna itu dapat menghasilkan buah-buah iman dalam hidupnya diantaranya :
a. Kemerdekaan jiwa dari kekuasaan orang lain yaitu , Bahwa Allah lah Yang Maha Kuasa atas umatnya yang memberikan kehidupan, kedudukan yang tinggi, menurunkan pangkat yang tinggi , juga hanya Dia yang dapat memberikan kemelaratan atau kemanfaatan kepada seseorang.
b. Cinta kepada kebenaran dan benci kepada kebatilan yaitu mendorong manusia untuk selalu cinta kepada kebenaran dan benci terhadap kebatilan.
c. Ketenangan atau thumani’nah yaitu, merasa memiliki tempat mengadu,pembela,penolong,pemberi rezeki dan sebagainya.
d. Melepaskan diri dari pengaruh keduniaan yaitu, mendorong manusia untuk mengarahkan segala apa yang dimilikinya hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Itulah diantara buah keimanan yang senantiasa sesuai dengan kebutuhan manusia , dan dapat menjamin keselamatan dunia dan di akhirat. Maka dapat kita tegaskan bahwa iman adalah alat kita untuk memperoleh ridho Allah SWT dan selamat dunia akhirat. 




       2.3. Ketaqwaan dan Implikasi dalam kehidupan

A.    Langkah-langkah Metodologis
           Untuk bisa menjelaskan implikasi taqwa terhadap pendidikan, penulis menempuhnya melalui tiga cara, yaitu : Pertama; mengumpulkan ayat-ayat Alqur’an yang berkenaan dengan taqwa, mengelompokkan dan memberi makna berdasarkan tema, kemudian mengambil inti sari (essensi) makna taqwa. Kedua; memahami landasan filosofis, teoritis, dan hakekat pendidikan; dan ketiga, menjelaskan hubungan makna taqwa yang dimaksud dalam Alqur’an dengan yang menjadi prinsip dasar atau hakekat pendidikan. Berdasarkan tiga langkah dan alur pikir inilah penulis menyusun makalah ini.
B. Ayat-Ayat Alqur’an Yang Bertemakan Taqwa
           Kata taqwa yang terulang dalam Alquran sebanyak 17 kali, berasal dari akar katawaqa’ – yaqiy yang menurut pengertian bahasa berarti antara lain, ‘menjaga, menghindari, menjauhi’ dan sebagainya. Kata taqwa dalam bentuk kalimat perintah terulang sebanyak 79 kali, ‘Allah’ yang menjadi objeknya sebanyak 56 kali, neraka 2 kali, hari kemudian 4 kali, fitnah (bencana) 1 kali, tanpa objek 1 kali. Sedangkan selebihnya yakni 15 kali, objeknya bervariasi seperti rabbakum (Tuhanmu), al-ladzi khalaqakum (yang menciptakan kamu), al-ladzi amaddakum bi ma ta’malun (yang menganugerahkan kepada kamu anak dan harta benda) dan lain-lain. Redaksi-redaksi tersebut semuanya menunjuk kepada Allah swt. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada umumnya objek perintah bertakwa adalah Allah swt. Sedangkan istilahMuttaqien adalah bentuk faa’il (pelaku) dari ittaqa suatu kata dasar bentukan tambahan (mazid) dari kata dasar waqa, yang biasanya diterjemahkan menjadi “orang yang menjaga diri untuk menyelamatkan dan melindungi diri dari semua yang merugikan”. Jadi secara keseluruhan kata muttaqien adalah menjaga diri untuk menyelamatkan dan melindungi diri dari semua yang merugikan yaitu dari kema-shiyatan, syirk, kemunafikan dan sebagainya.
1. Pengertian
           Sebagaimana dikemukakan di atas, secara bahasa, arti taqwa bisa berarti ”menjaga, menghindari, menjauhi”; dan ada juga yang mengartikan dengan ”takut”. Dengan mengambil pengertian ”takut”, maka taqwa berarti ”takut kepada Allah”. Karena ketakutan ini, maka ia harus mematuhi segala ”perintah Allah” dan ”menjauhi segala larangan-Nya”. Pengertian ini, misalnya, terungkap pada salah satu ayat yang sangat populer, karena sering dikumandangkan pada pengajian-pengajian keagamaan dan khutbah-khutbah jum’ah, yaitu dalam surat Ali Imran/3:102 yang berbunyi :
                                                                                    َ
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
               Berdasar kepada ayat di atas yang mengartikan taqwa dengan ”takut”, maka dalam beberapa literatur berbahasa Inggris, taqwa juga sering diartikan sebagai ”God-fearing”, orang yang takut kepada Tuhan.[1] Namun dalam Al-Qur`an, kata ”takut” telah memiliki padanan, yaitu "khasyiya" dan "khawf", misalnya terungkap dalam surat An-Nisa/4:9 sebagai berikut :
”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

               Nampak, bahwa ada nuansa perbedaan antara ”takut” dan ”taqwa”, dimana penggunaan istilah taqwa dalam ayat di atas, lebih cenderung kepada suatu sikap etis atau norma-norma yang harus dilakukan manusia. Orang-orang yang beriman dan mengikuti petunjuk Allah, justru akan dijauhkan dari ketakutan atau suasana ketakutan. Sebagaimana terdapat dalam surat Albaqarah/2:38

”Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Demikian pula dalam surat Al-Ahqaaf/46:13 :

”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.”
Adapun pengertian taqwa dari akar kata yang bermakna ”menghindar, menjauhi, atau menjaga diri”, M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kalimat perintah ”ittaqullah”yang secara harfiah berarti ”hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah”, tentu makna ini tidak lurus dan bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Sebab, bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhiNya, sedangkan ”Dia (Allah) bersama kamu dimana pun kamu berada”. Karena itu, perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya, kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertaqwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah, baik di dunia maupun akhirat.[2] Dalam surat Al-Furqan/25:15 Allah menegaskan :

”Katakanlah: “Apa (azab) yang demikian itukah yang baik, atau surga yang kekal yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa?” Dia menjadi balasan dan tempat kembali bagi mereka?.”
           Dengan demikian, pangkal dari taqwa adalah ”perintah dan larangan” Allah yang ditujukan kepada manusia beriman, sehingga muncul kesadaran untuk ”takut” akan siksa Allah kalau tidak melaksanakan segala perintahNya, ”menghindari siksa Allah dengan cara melaksanakan perintahNya, dan senantiasa ”menjaga” serta ”memelihara” untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya.
2. Martabat Dan Peran Manusia
           Ayat-ayat Alqur’an yang bertemakan taqwa tersebut pada umumnya sangat berhubungan  dengan “martabat” dan “peran” yang harus dimainkan manusia di dunia, sebagai bukti keimanan dan pengabdian kepada Allah. Misalnya, ayat Alqur’an yang berkaitan dengan masalah ini terungkap dalam Surat Alhujarat/49: 13 sebagai berikut :

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dalam ayat tersebut, taqwa dipahami sebagai “yang terbaik menunaikan kewajibannya”[3]. Maka, manusia “yang paling mulia dalam pandangan Allah” adalah “yang terbaik dalam menjalankan perintah dan meninggalkan laranganNya”. Inilah yang menjadi salah satu dasar kenapa Allah menciptakan langit dan bumi yang menjadi tempat berdiam makhluk-Nya serta tempat berusaha dan beramal, agar nyata di antara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah, sebagaimana terungkap dalam Alqur’an di bawah ini :
Surat Huud/11: 7
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.. “
Surat Al-Mulk/67: 2

”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Al-Maidah/5:48 :
” Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
3. Iman Dan Ketaqwaan
           Istilah dan penggunaan kata taqwa selalu diawali atau bergandengan dengan kata ”iman”, seperti surat Ali Imran/3:102 di atas, juga perintah puasa.[4] Ini menunjukkan bahwa orang bisa melaksanakan ketaqwaan karena atas dasar keimanannya. Sehingga, dalam konteks ketaqwaan inilah maka kita bisa memahami, mengapa keimanan sesorang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu, dengan beriman dan bertaqwa, Allah menjanjikan hilangnya ketakutan dan kekhawatiran untuk melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Dalam surat Al-Anfaal/8:29 ditegaskan Allah :

”Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
Juga, dalam surat Al-Baqarah/2:58 menegaskan :

”Kami berfirman : tinggalkan keadaan seperti ini, sesungguhnya akan datang kepada kamu petunjuk dariKu. Barangsiapa mengikuti petunjukKu, akan lenyap segala ketakutan dan tak ada pula kesusahan.”
Karena keimanannya itu, maka dalam An-Naba/78:31 Allah berfirman :

”Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan”
Ketakutan, sebagaimana terhadap kelaparan dan kehilangan harta, jiwa, dan lain sebagainya, yang dinyatakan dalam Alqur’an surat Al-Baqarah/2:155[5], sebagai cobaan bagi orang-orang yang mampu bersikap sabar. Ada 12 ayat yang menyatakan hal seperti itu dengan kasus yang berbeda. Dalam Alqur’an surat al-A’raf/7:35 malahan dinyatakan bahwa keadaan seperti itu, yaitu tiadanya suasana ketakutan dan kesengsaraan :

“Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Terdapat pula orang-orang yang bertaqwa dan berbuat baik, misalnya, melakukan shadaqah, menghindarkan diri berkata yang menyakitkan hati orang dan mengucapkan kata-kata yang manis, seperti terdapat dalam surat Al-Baqarah/2:262 :

”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Maka, orang yang bertaqwa (muttaqin), adalah orang yang selalu menjaga dirinya dari perbuatan dosa dengan satu pedoman dan petunjuk Alqur’an sehingga bisa mengembangkan kemampuan rohani dan kesempurnaan diri. Mirza Nashir Ahmad dalam terjemahan the Holy Qur’an-nya, menyebut orang yang bertaqwa adalah orang yang memiliki mekanisme atau daya penangkal terhadap kejahatan yang bisa merusak diri sendiri dan orang lain.[6] Sementara, dalam ayat lain muttaqinmenunjukkan kepada orang bijak, soleh, jujur, dan bertanggung jawab. Dalam surat Al-Maidah/5:93 ditegaskan :

”Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Perintah Allah berbuat baik dan menjauhi larangan, adalah sejalan dengan potensi yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya : ”sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” [7],sehingga memiliki kemungkinan-kemungkinan yang besar untuk maju dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya : ”Tiap-tiap orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya” [8].
4. Beberapa Ciri-ciri Orang Bertaqwa Dalam Alqur’an
           Berdasarkan beberapa ayat Alqur’an, ada beberapa ciri orang bertaqwa, diantaranya : 1) beriman dan meyakini tanpa keraguan bahwa Alqur’an sebagai pedoman hidupnya[9]; 2) beriman kepada perkara-perkara yang gaib; 3) mendirikan sembahyang; 4) orang yang selalu membelanjakan sebahagian dari rezeki yang diperolehnya[10]; 5) orang yang selalu mendermakan hartanya baik ketika senangmaupun susah; 6) orang yang bisa menahan amarahnya, dan mudah memberi maaf[11]; 7) mensyukuri nikmat Allah yang telah diterimanya, karena Allahmengasihani orang-orang yang selalu berbuat kebaikan[12];  takut melanggar perintah Allah[13]; 9) oleh karena itu, tempat mereka adalah surga sesuai dengan yang dijanjikan Allah, dan tempatnya tidak jauh dari mereka. [14]
5. Taqwa Dan Implikasi Kemanusiaan
           Taqwa menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi, sebagaimana dikemukakan dari sejumlah ayat-ayat Alqur’an di atas, memiliki makna dan implikasi kemanusiaan yang sangat luas. Nilai-nilai kemanusiaan sebagai akibat ketaqwaan itu diantaranya :
1.      Berilmu; dalam Alqur’an pada prinsipnya taqwa berarti mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Setiap perintah Allah adalah ’kebaikan’ untuk dirinya; sebaliknya setiap larangan Allah apabila tetap dilanggar maka ’keburukan’ akan menimpa dirinya. Maka, dalam konteks ini, taqwa menjadi ukuran baik tidaknya seseorang, dan seseorang bisa mengetahui ”baik” dan ”tidak baik” itu memerlukan pengetahuan (ilmu).
2.      Kepatuhan dan disiplin; taqwa menjadi indikator beriman tidaknya seseorang kepada Allah. Sebab, setiap ”perintah” dan ”larangan” dalam Alqur’an selalu dalam konteks keimanan kepada Allah. Oleh karena itu, secara sederhana, setiap orang yang mengamalkan taqwa kepada Allah pasti ia beriman; tapi, tidak setiap orang beriman bisa menjalani proses ketaqwaannya, yang diantaranya disebabkan oleh faktor ”ketidaktahuan” dan ”pembangkangan”. Maka, iman, islam, dan taqwa dalam beberapa ayat selalu disebut sekaligus, untuk menunjukkan integralitas dan mempribadi dalam diri seseorang.
3.      Sikap hidup dinamis; taqwa pada dasarnya merupakan suatu proses dalam menjaga dan memelihara ”hubungan baik” dengan Allah, sesama manusia, dan alam. Karena berhadapan dengan situasi yang berkembang dan berubah-ubah, maka dari proses ini manusia taqwa membentuk suatu cara dan sikap hidup. ”Cara” dan ”sikaphidup” yang sudah dibentuk ini, secara antropologis-sosiologis menghasilkan etika, norma dan sistem kemasyarakatan ( kebudayaan).
4.      Kejujuran, keadilan, dan kesabaran; tga hal ini merupakan bagian yang ditonjolkan dalam ayat-ayat taqwa. Kejujuran, keadilan, dan kesabaranmerupakan dasar-dasar kemanusiaan universal. Dalam konteks ini, kesabaran dipahami sebagai keharmonisan dan keteguhan diri dalam menghadapi segala cobaan hidup.
Empat poin di atas, merupakan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang terrdapat dalam nilai-nilai taqwa. Dengan demikian, taqwa merupakan dasar-dasar kemanusiaan universal yang nilai-nilainya tidak mutlak dimiliki oleh Muslim, tetapi oleh seluruh manusia yang berada pada jalur atau fitrah kemanusiaannya. Karena memiliki nilai-nilai kemanusiaan universal, maka taqwa bisa berimplikasi kepada seluruh sektor dan kepentingan hidup manusia, termasuk didalamnya sektor pendidikan.












































BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            3.1.1. Tuhan yang maha esa dan ketuhanan

            Konsep tentang tuhan dalam islam bersumber dari dan berdasarkan wahyu.Wahyu adalah firman tuhan tentang diriNya sendiri,ciptaanNya,relasi antra keduanya,serta jalan menuju keselamatan yang di sampaikan pada nabi dan rasul pilihannya,bukan melalui suara atau aksara,namun semuanya itu telah Dia refresentasikan dalam bentuk kata-kata kemudian di sampaikan oleh Nabi pada umat manusia berbentuk bahasa yang dapat di pahami.Al-qur’an adalah firman tuhan yang di wahyukan dalam bentuk baru bahasa arab.
            3.1.2. Keimanan dan implikasi tauhid dalam islam

            Iman menurut arti bahasa yaitu percaya atau mempercayai sesuatu. Sedangkan dalam arti lazim , iman artinya meyakini dengan hati , mengucapkan dengan lisan , dan mengamalkan dengan perbuatan
Iman adalah awal dan akhir dari semua unsur ajaran islam yaitu keyakinan yang menegaskan bahwa hanya Allah SWT yang menciptkan, memberi hukum-hukum , mengatur dan mendidik alam semesta.
            3.1.3. Ketaqwaan dan implikasi dalam kehiudupan
            Taqwa berarti menjaga,mengindari,menjauhi,dan takut (takut kepada allah),dalam aq-quran taqwa berhubungan dengan martabat dan peran yang harus di mainkan manusia di dunia.Orang yang bias melaksanakan ketaqwaan harus atas dasar keimanannya,maka dalam konteks ketaqwaan inilah kita dapat memahami kenapa keimanan sesorang bias bertambah dan berkurang.
            Ciri-ciri orang bertaqwa dalam al-quran:
1.      Beriman dan meyakini tanpa keraguan bahwa alquran sebagai pedoman hidup.
2.      Beriman kepada yang gaib
3.      Mendirikan shalat
4.      Orang yang salu membelanjakan rizkinya
5.      Orang selalu mendermakan hartanya
6.      Orang yang dapat menahan amarah dan pemaaf
7.      Orang yang salu bersyukur
8.      Takut melanggar perintah allah
9.      Tempat mereka adalah surge
Nilai-nilai kemanusiaan:
1.      Berilmu
2.      Kepatuhan dan disiplin
3.      Sikap hidup yang dinamis
4.      Kejujuran,keadilan dan kesabaran

3.2. Saran
            Dengan kita meyakini bahwa agama Islam merupakan satu-satunya agama yang sempurna,maka kita harus bertaqwa dan beriman hanya kepada Allah,selalu melaksanakan petintahNya dan menjauhi larangannya.




































DAFTAR PUSTAKA




Soedewo PK, Keesaan Ilahi, Daarul Kutubil Islamiyah, tanpa tahun,Bogor
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, cetakan II 1996
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, Cet.XIV 1997
Jurnal Himmah vol.VI N0.15, STAIN, Palangkaraya, 2005
Faisal Ismail, Masa Depan Pendidikan Islam Di Tengah Kompleksitas Tantangan Modernitas, Bakti Aksara Persada, , Jakarta, 2003
Alqur’an Dan Terjemahannya, Depag RI


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More